“IBU” SENDIRIAN DI KAKI BUKIT

Merian Fauzi 03.25 0
Oleh : Sayed Muhammad Kamal
Waktu itu salah satu organisasi kampus IAIN Korp sukarela PMI IAIN mengadakan lintas terampil tingkat Nasional, tepatnya disuatu kawasan Aceh Besar daerah indrapuri di sebuah desa pendalaman yaitu kreung jreu.
Lintas Terampil adalah salah satu kegiatan sosial yang melatih kader anggota PMI, adapun kegiatan tersebut dalam bentuk materi dan praktek.
Pesertanya utusan Universitas tingkat Nasional yang bergabung dalam wadah organisasi PMI, masing-masing Universitas di minta mengirim peserta sebanyak lima orang, mereka diminta mengisi formulir dan membayar Administrasi.
Persiapan untuk mengadakan event tersebut pun mendapat respon baik dari berbagai pihak termasuk Rektor  IAIN dan beberapa lembaga lainnya, mereka memberi dukungan baik berupa finansial dan motivasi juga turut serta meramaikan kegiatan.
Seluruh anggota KSR-PMI IAIN dilibatkan demi kesuksesasan acara, tiap-tiap anggota mendapat tugas masing-masing per seksi, diantaranya ada seksi tempat dan kegitan, seksi acara dan beberapa seksi lainnya.
Saya dan beberapa kawan mendapatkan tugas dibagian tempat dan perlengkapan, kami mulai mempersiapkannya dan menuju tempat kegiatan. Mulai dari membersihkan tempat dan mendirikan tempat penginapan dalam bentuk tenda, ini berlangsung selama satu minggu dan kami nginap ditempat tersebut selama kegiatan berlangsung.
Hal yang menarik dan mengharukan bagi saya selama persiapan tersebut yaitu mengenal seorang ibu, Rumahnya tidak jauh dari tempat kami adakan kegiatan, Beliau tinggal seorang diri dan memiliki dua orang anak yang sudah berumah tangga.
Jauh dari perkampungan tepatnya di kaki gunung, bayangkan bagaimana kita harus hidup seorang diri siang dan malam hanya ada berbagai suara yang terdengar, kita hanya berbicara seorang diri.
Pertemuan saya dengan ibu itu tanpa di sengaja, waktu itu saya turun kesungai bersama kawan, maksud kami ingin mandi dan menangkap ikan, tiba-tiba saya melihat seorang ibu sedang mencuci pakaian, jujur waktu itu saya bingung dan penuh tanda tanya, apakah itu benar yang saya lihat sampai saya mendekatinya dan mengajaknya untuk ngobrol.
Kawan saya terus menangkap ikan, saya larut dalam perkenalan sama ibu tersebut, ketika kami mau pulang beliau juga mau pulang, dikepala nya baju cucian sedangkan ditangannya membawakan air, saya pun dengan senang hati ingin membantu untuk mengangkut air membawa pulang kerumahnya,
Besok harinya kami memberanikan diri untuk menjenguk beliau, kebetulan juga ibu tersebut sedang menyapu halaman, kami dipersilahkan untuk duduk, beberapa menit kemudian kami dihadangkan minum air kopi, saya beranikan diri untuk bertanya,”ibu tinggalnya sendiri?”, beliau senyum kemudian beliau menjawab .”ia Nak”.
Beberapa menit kemudian Mulailah  ibu itu bercerita, “saya tinggal sendiri tapi dulunya saya tinggal bersama suami dan dua orang anak, namun kami bercerai karena saya tidak tahan setiap harinya saya disalahkan dan tidak segan-segan tangan juga berbicara. Bahwa suaminya itu bertangan dingin, sampai tangan ibu tersebut tergilir akibat ulah kekerasan suaminya,
Anaknya yang perempuan sudah berumah tangga, dan jarang menjenguk begitu juga Anaknya yang lelaki jarang pulang dan jarang memperhatikan ibu nya.
Beliau terus bercerita banyak hal, kami hanya terdiam, memang sangat ironis tidak tega mendengarkan cerita tersebut tidak sepatah kata pun keluar dari mulut kami, di ujung pembicaraan beliau mengatakan,”ibu tidak takut tinggal seorang diri, ibu tau dalam hidup ini kita sebenarnya tidak sendiri dimana pun dan kapanpun Allah selalu ada, Ibu hanya bisa berdoa dan meminta pertolongan sama Allah selebih dari itu hanya kuasanya dan ketentuannya yang sudah tertulis jauh sebelum kita diciptakan”.
Setelah bercerita panjang lebar, Pada hari itu juga kami di jamu makan siang, kami juga membantu memasak, dilanjutkan makan siang bersama-sama.
Lima jam dirumah ibu itu serasa sebentar, kami pamit pulang untuk kembali beraktifitas, sesampai di tenda saya masih teringat dengan kisah yang di alami ibu itu,
Besok harinya kami berangkat lagi ke sungai untuk mandi pagi dan menangkap ikan, dalam hati saya menunggu ibu itu ke sungai karena ingin membantu untuk mengangkut air kerumahnya, lagi asyik-asyiknya kami menangkap ikan, tiba-tiba ibu itu datang dengan membawa ember angkut air.
Dari kejauhan saya mendekati nya, beliau tersenyum berkata,”mau bantu angkut airkan?,” saya pun tersenyum dengan nada bercanda,”mau minta makan siang bu”. Boleh jawabnya, Ayoo kerumah, tidak lama kemudian kami pun pulang bersama-sama seperti biasa ditangan saya dan kawan saya membawa pulang air untuk ibu.
Saya sudah menganggapnya seperti ibu sendiri, dan beliu tanpa merasa segan juga memberi nasehat yang baik dan petuah yang patut di teladani,
Tiba Hari terakhir, kegiatan kami pun ditutup dengan rapi, teman-teman anggota yang lain bergegas pulang ke Banda Aceh, sedangkan saya bersama tiga rekan kami di tempat itu karen harus mengemas kembali barang-barang yang akan di bongkar.
Semuanya sudah siap untuk kembali pulang, sebelum berangkat pulang saya menyempatkan diri untuk menjenguk ibu, berdua sama teman kami membawa sekarung beras dan satu baju kegiatan untuk ucapan terimakasih, saya merasa sudah jadi bagian dalam hidupnya.
Setelah berpamitan sama ibu kami kembali ketempat kegiatan, saya bersama teman kini bersiap meninggalkan desa tersebut, Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar seperti yang di inginkan.


DAKWAH ANTARA KEWAJIBAN DAN SALING MENGINGATKAN

DAKWAH ANTARA KEWAJIBAN DAN SALING MENGINGATKAN

Merian Fauzi 02.27 0
Manusia hadir dibumi ini sebagai makhluk pilihan. Di beri akal sekaligus hawa nafsu, menjadikan manusia paling istimewa dibanding makhluk lain. Allah swt sendiri melabelkan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan utama. Bahkan posisinya di tempat tertinggi diantara ciptaan lain. Karena memilki unsur dan daya materi,  memiliki jiwa dengan ciri-ciri berfikir dan berakal. Dan karena Kelebihan itulah Allah swt menunjuk manusia sebagai pemimpin bumi, Penjaga bumi dan melestarikanya. Keputusan Sang Khalik ini sempat menuai protes dari para AlgojoNya yaitu malaikat, namun dengan tegas Allah berfirman “Sesungguhnya Aku Mengetahui Apa yang tidak kamu Ketahui” (Al-baqarah:30).

Kehadiran manusia tentu bukan saja sebagai hiasan bumi belaka. Serba-serbi kelebihan yang telah Allah swt anugerahkan menjadi bukti bahwa manusia memiliki pikulan amanah yang tidak kecil. Selain mengabdikan diri kepada Allah swt dengan beriman dan melakukan amal soleh, mengikut syariat yang ditetapkan oleh agama melalui RasulNya, manusia juga harus bisa beramal Ma’ruf, Nahi Mungkar serta menjaga diri dan keluarganya dari ancaman neraka. Meski Allah swt telah berjanji dalam surah Albaqarah ayat 286, bahwa “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” bukan berarti itu sebuah kebebasan berkehendak, Namun semuanya harus mengalir berdasarkan tuntunan Al-qur’an dan hadis nabi. Hal inilah yang mestinya kita cerna benar selaku manusia. Hidup untuk tidak sekedar hidup adalah tunjangan penting demi kebahagiaan dunia dan akhirat.

Agama Islam sendiri mengajarkan, bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah makhluk kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar (Ceramah Zainudin Mz tentang kewajiban seorang muslim).

Untuk mencapai kehidupan yang sesuai dengan perintahNya dan Menjadikan manusia tetap berada pada jalan yang benar, Allah swt telah mengutus para nabi dan rasul sebagai pembimbing umatnya. Tanpa terasa tahun demi tahun terus berganti, bumi pun semakin tua. Para utusan Allah, nabi dan rasul sudah kembali padaNya. Tinggalah manusia yang semakin pandai saja. Namun analisis kepandaiannya justru sering kali berbanding terbalik  dengan apa yang telah diajarkan oleh para nabi dan rasul. Di sinilah yang menjadi masalah utama. Manusia yang seharusnya mengabdikan diri pada sang khalik, justru mengabaikannya dan sering kali perbuatannya hanya sebatas demi kepentingan diri sendiri tanpa mempertimbangkan baik buruknya.

Manusia memang makhluk yang mudah sekali melupakan peringatan Allah. Lihatlah, fenomena yang terjadi di daerah-daerah bekas bencana. Beberapa hari setelah bencana, masjid-masjid dipenuhi manusia yang meratap dan berdoa kepada Allah. Tapi, ketika tahun berganti tahun, ketika bangunan-bangunan mulai direnovasi, saat sisa-sisa bencana mulai sirna, maka banyak lagi yang melupakan masjid. Solat jamaah yang sebelumnya sempat ramai, kemudian menjadi sepi kembali (Fakhruddin Lahmuddin dalam penyampaian mata kuliah Tafsir Ayat-ayat dakwah). Lebih parah lagi, kemaksiatan yang sebelumnya sempat mereda, kembali marak. Bahkan, ada yang secara terang-terangan kembali menentang Allah untuk menurunkan azabnya. Persis dengan apa yang dilakukan oleh kaum nabi-nabi yang diperingatkan tetapi malah menantang Allah dan Rasul-Nya.
Penyebab utama berubahnya arah hidup manusia tidak lain karena kehilangan fitrah sejatinya. Dan berakibat keluar dari garis kebenaran yang tak seperti seharusnya (H Ahmad Yani dalam materi khutbah jum’at). Hal ini tentunya melahirkan persoalan baru yang amat berbahaya bagi perjalanan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Untuk mengatasi hal diatas, cara yang paling mudah adalah dengan saling ingat-mengingatkan sesama kita. Namun sangat disayangkan, tekhnik saling ingat-mengingatkan ini justru sering disalah artikan. Banyak diantara kita berpendapat bahwa mengingatkan orang, justu hal yang diingatkan itu akan terjadi padanya. Seperti pengakuan seorang Ibu yang mengingatkan pada anak perempuan tetangganya agar tidak pulang larut malam, keesokan malamnya jusru anak perempuan-nyalah yang pulang larut malam. Meskipun yang terjadi adalah sebuah kebetulan, tapi ke-engganan ini menjadi kebiasaan yang populer.

Sebenarnya kata “ingat-mengingatkan” tidak hanya berarti memberi peringatan, akan tetapi saling memberi peringatan. Atau lebih mudahnya saling mengingatkan. Kata “saling” disini adalah adanya timbal balik antar keduanya. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa dengan adanya timbal-balik maka adanya keterkaitan antar satu dengan lainnya. Jika satu yang salah atau melenceng dari yang diajarkan oleh Allah swt dan rasulNya maka tugas yang lain untuk mengingatkan. Begitu juga sebaliknya.

Ada kalimat penting harus benar-benar bisa kita cerna dengan baik. Kalimat ini telah Allah notariskan, didalam Al-quran surah Al-Ashr
“Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”

Ayat diatas cukup jelas, bahwa saling ingat-mengingatkan merupakan anjuran agama, jika kita tidak ingin disebut golongan yang merugi.  Tidak hanya itu anjuran untuk saling ingat mengingatkan sampai beberapa kali Allah swt sebut dalam Al-qur’an seperti dalam surah An-Nahl ayat 125
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dijalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Usaha untuk saling ingat-mengingatkan atau menyeru manusia ke jalan Allah bukanlah pekerjaan yang mudah, ia memerlukan pengorbanan segalanya, baik tenaga, harta benda jika diperlukan nyawa sekalipun. Usaha yang mulia ini akan berhadapan dengan banyak halangan dan rintangan yang datangnya dari berbagai penjuru. Jika kita tabah menghadapinya Insya-Allah usaha kita akan berhasil. Tanggung jawab menyeru ke jalan Allah adalah menjadi tanggung jawab semua kita. Kita dituntut untuk menyampaikannya sesuai kemampuan kita, baik dengan lisan, tulisan, harta benda ataupun sekurang-kurangnya berdakwah dengan contoh teladan yang baik.
“Siapakah yang terlebih baik perkataannya daripada orang yang Menyeru kepada Allah dan beramal soleh seraya berkata:”Sesungguhnya saya salah seorang Muslim.” (Al-Fussshilat ayat 33)

Fungsi kita sebagai manusia adalah menyampaikan dan saling mengingatkan, sedangkan yang memberikan taufik dan hidayah hanyalah Allah swt. Selayaknya kita dapat menjadi pribadi yang tidak pernah bosan-bosan untuk saling mengingatkan. Apa yang sudah penulis sampaikan disini bukan menjadi jaminan bahwa penulis lebih baik dari anda semua, tapi ini diharapkan untuk menjadi jalan interaksi agar kita dapat menjadi pribadi yang saling ingat-mengingatkan dan mengingat bahwa dakwah adalah sebuah kewajiban.




BIODATA PENULIS
NAMA                        : Satria Putra
TTL                             : Jantho 15 Maret 1991
ALAMAT                   : JL. Sulaiman Daud No. 5 Peuniti Banda Aceh
STATUS                     : Mahasiswa
PENDIDIKAN          : S1 IAIN AR-RANIRY BANDA ACEH
EMAIL                       : s3a.putra@yahoo.co.id
HP                               : 085362158315
MOTTO                      : Hidup Yang Baik Adalah Ketika Kita Tidak Pernah Mengeluh.
HOBBY                      : Menulis & Mengarang Puisi




9 Bahasa Aceh Ini hampir Punah

Merian Fauzi 03.51 2
Bagi sebagian anak muda atau remaja khususnya yang berasal dari kampung merantau ke kota Banda Aceh untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi yaitu tingkat perguruan tinggi mengharuskan mereka tinggal jauh dari kampung halamannya dan tinggal di lingkungan yang sangat berbeda jauh dengan suasana di kampung mereka sehingga mereka berbaur dengan lingkungan yang baru dan beda dengan kehidupan mereka di kampung. 
Perubahan pun terjadi pada diri mereka baik dari cara meraka berpenampilan maupan cara mereka berbicara, ini dikarenakan adanya berbagai suku budaya bercampur baur di kota Banda Aceh, Mahasiswa yang kuliah di berbagai Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta yang ada di Banda aceh berasal dari berbagai kabupaten bahkan ada yang berasal dari luar Aceh, oleh karena itu mayoritas mahasiswa-mahasiswi di Banda Aceh menggunakan bahasa Indonesia untuk melakukan komunikasi, 
Akan tetapi itu bukan alasan Aneuk Aceh untuk melupakan bahasa asli orang Aceh. Jangan hanya karena alasan malu berbahasa Aceh dan tak ingin di bilang nggak gaul pake bahasa Aceh. Tak di pungkiri berbagai faktor tersebut banyak anak Aceh yang mulai meninggalkan bahasa nenek moyangnya, diantara bahasa Aceh yang mulai di tinggalkan Aneuk Aceh , disini penulis akan menyebutka 9 kata dalam bahasa Aceh yang mulai ditinggalkan di antaranya:

1.      Bulut (basah)
Kata bulut dalam bahasa aceh mulai jarang digunakan. Bulut artinya basah. Contoh kalimat yang menggunkan kata bulut.  “galak that maen ujeuen.. kabeh bulut bajee .”
Aneuk Aceh sekarang lebih suka memakai kata Basah ketimbang memakai kata bulut yang asli berasal dari bahasa Aceh

2.      Camca,tamca (sendok)
Camca/tamca kalau di artikan dalam bahasa indonesia berarti sendok berasal dari bahasa cina , alat yag biasa digunakan untuk mengambil makanan, kata camca ini juga sudah jarang digunakan aneuk Aceh sekarang.

3.      Pingan (piring)
Pingan berasal dari kata melayu dan orang malaysia juga menggunakan kata ini untuk menyebutkan benda piring.

4.      Purieh
Banyak Aneuk Aceh yang sekarang tinggal di banda Aceh mungkin tak mengenal lagi Purieh.. Purieh adalah alat yang terbuat dari bambu yang sangat tua dan keras. Orang tua di kampung biasa meggunakan purieh untuk sandaran “panteue’ (semacam tempat istirahat yang terbuat dari bambu) “purieh ini juga digunakan sebagai alat untuk memanjat kelapa yang pohonnya rendah, jadi bisa digunakan sebagai pengganti tangga.

5.      Jak Tueng (jemput)
Kata Jak Tueng Sekarang di gantikan dengan kata jemput, kata tueng ini sering digunakan ketika kita hendak menjemput seseorang yang butuh bantuan kita, contoh kalimat.  “Aduen tulong jak tueng loen siat di keude”  ;  Bro tolong jemput gua bentar di kede.

6.      Tutue,titi (jembatan)
Banyak Anak Aceh yang tinggal di banda Aceh sekarang lebih suka meggunakan kata jembatan. Padahal dalam bahasa Aceh jembatan di artikan tutue. Contoh kalimat yang sering di gunakan anak aceh , “lewat jembatan lamnyong blah wie na keude”.. lewat jembatan Lamnyoeng sebelah kiri ada kede.

7.      Kayem (Sering)
Kata inipun hampir jarang kita jumpai di mulut aneuk aceh dalam pergaulan sehari pada. Mereka lebih suka menggunakan kata sering ketimbang kata kayem.

8.      Miseue, Meuseue (misalkan, contoh)
Kata ini digunakan untuk mengumpamakan sesuatu. Dalam pergaulan sehari-hari Aneuk Aceh lebih sering menggunakan kata contoh.

9.      Meuchen (kangen,rindu)
Kata Meuchen sering digunakan dalam hubungan antara sepasang kekasih, ketika lagi kangen sama sang kekasih pria lebih suka menggunakan kata rindu atau kangen untuk mengungkapkan rasa rindunya kepada sang pacar.

Mungkin hanya sekian moga tulisannya bermamfaat mohon maaf kalau ada kekeliruan…
Makalah agama tentang Ijtihad

Makalah agama tentang Ijtihad

Merian Fauzi 00.44 0
BAB I
                                                              PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya. Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman Rasul saw, antara lain dapat dilacak dari riwayat ‘Amr bin ‘Ash yang mendengar Rasulullah saw bersabda:
            “Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemjudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya maka untuknya satu pahala”.
            Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
                       
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian ijtihad
2.    Apa saja dasar hukum ijtihad
3.    Apa fungsi ijtihad
4.    Bagaimana lapangan (wilayah) ijtihad
5.    Apa syarat-syarat menjadi seorang mujtahid
6.    Apa hukum orang berijtihad
7.    Tingkatan-tingkatan apa saja yang ada dalam mujtahid.
8.    Apa saja macam-macam ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN IJTIHAD
            Kata ijtihad berasal dari kata “al jahdu”  dan “al juhdu” yang berarti “daya upaya” dan “usaha keras”, adapun definisi Ijtihad menurut istilah mempunyai dua pengertian: arti luas dan arti sempit, ijtihad dalam arti luas tidak hanya mencakup pada bidang fiqh saja, akan tetapi juga masuk ke aspek-aspek kajian islam yang lain, seperti tasawuf dan aqidah.
            Definisi itu di munculkan oleh ulama Hanafiah bahwa ijtihad adalah “ usaha keras untuk mencapai tujuan atau memproleh sesuatu”, definisi ini menggambarkan bahwa pengerahan segala kemampuan dan usaha keras dalam menyelesaikan persoalan atau mencapai sebuah tujuan dalam berbagai bidang.
            Menurut perspektif  ulama fiqh, ijtihad mempunyai ruang lingkup pengertian yang sangat sempit. Menurut mereka diantaranya ulama Syafi’iah, ijtihad hanya ada pada bidang fiqh saja. Mereka mendefinisikan Ijtihad  adalah:
Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan menentukan dari kita dan sunnah.”
            Sedangkan orang yang ber-ijtihad itu dikenal dengan sebutan Mujtahid. Adapun pengertian dari Mujtahid sendiri ialah:
 “Mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama dengan jalan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah”.
            Sebenarnya menurut Sa’id Agil Al-Munawar, dua pengertian ijtihad yang dikemukakan para ulama mengarah pada ruang lingkup yang luas, tidak hanya terspesifikasis dalam bidang fiqh, tetapi juga ada dalam ilmu keislaman lainnya seperti ilmu hadis, akhlaq dan kalam. Fiqh pada definisi kedua mempunyai cakupan arti yang luas sehingga mencakup fiqh dalam arti sempit, kalam, akhlaq dan tasawuf.
            Salah satu contoh yang menarik bahwa pada masa Abu Hanifah dan Syafi’i, mereka menyebut kalam dengan fiqh, sebagai bukti historisnya adalah mereka menulis kitab yang berjudul al-fiqhul akbar yang isinya ilmu kalam. Hal itu menginformasikan bahwa kalam pada masa itu disebut fiqh.
            Menurut bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh, bersusah payah, menggunakan segenap kemampuan. Maka, sebagian kaum muda beranggapan bahwa jika mereka bersusah payah menggali hukum syar’iyyah dengan segenap ilmunya yang sangat minim dan segenap kemampuan akalnya yang dangkal, itu adalah ijtihad.
            Namun dikalangan ulama, ijtihad khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fuqoha) untuk mengetahui hukum syari’at. Adapun Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at.
            Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul.
            Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum islam). Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
            Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
            Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian  jahada terdapat didalam Al-qur’an surat Ai-Nahl ayat 38, surat an-Nur ayat 53, dan surat Fathir ayat 42. Semua kata itu berarti pengarahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus’I wa al-thaqah), atau juga berarti kelebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
            Dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat pada sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a (fajtahidu fi al-du’a)”. Dan hadits lain yang artinya “Rasul Allah SAW bersunggu-sungguh (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (termenologi). Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Al-Qur’an, ijtihad dengan al-sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash,

B.     DASAR HUKUM IJTIHAD
            Dasar-dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW, yang nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).
1)        Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an, antara lain:
“Maka jika kamu berbantah-bantahan kepada suatu urusan, kembalikanlah akan dia kepada Allah dan Rasulnya”. (Q.A. 59 s: 4: An-Nisa’).
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S. al-Ra’ad:3; al-Rum:21; al-Zumar:42).
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Q.S. al-Hasyr:2).
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar.
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S. al-Hasyr:2).
Kata dalam ayat tersebut mencakup penetapan hukum yang berdasarkan penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash, yang dikenal dengan sebutan qiyas. Jadi, ayat diatas secara terbuka mengakui prinsip ijtihad dengan metode qiyas sebagai salah satu cara untuk berijtihad.
2)        Dari Hadits
Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:
Dari Mu’az bin Jabal berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana upaya kamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’az menjawad, “akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah(Al-Qur’an)”. Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an?” Mu’az menjawab, “akan aku selesaikan berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam sunnah Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dari Al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menelesaikannya?” Mu’az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan rasioku dan tidak mengabaikannya”. Kemudian Rasulullah menepik dada Mu’az sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta rasul-nya terhadap apa yang direstui oleh Rosulullah”. (H.R. Abu Dawud).
Hadist tersebut berkenaan dengan riwayat ketika Mu’az bin Jabal akan diutus menjadi qodhidi negeri Yaman. Tetapi sahabat nabi itu tidak pernah bersikap fanatik terhadap pendapatnya, ia selalu mengatakan: ”inilah pendapat saya……….. dan kalau ada yang lain membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapat itulah yang lebih benar”.
Dari Amr bin ‘Ash ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila seorang Hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia herijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah, maka ia mendapat satu pahala”. (H.R. Muslim dan Ahmad).
Dari dua hadist di atas, sangatlah jelas bahwasanya ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, apabila tidak ditemukan didalam Al-qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah.hadist-hadist di atas, juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu beriktihad untuk melakukan ijtihad.
Adapun yang menjadi dasar ijtihad ialah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantara ayat Al-qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat.’(Q.S. an-Nisa [4]:105).

3)        Asar sahabat
Artinya perilaku atau perkataan sahabat contoh sahabat yang ada yaitu pertanyaan Umar bi Abi Khatab r.a, beliau mengatakan sesungguhnya umat telah bersungguh-sungguh mencari kebenaran namun ia tidak mengetahui akan kebenaran itu sudah tercapai atau tidak.
4)        Beberapa fatwa Imam Mujtahidin
Imam Malik berkata “Aku hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan benar maka periksalah pendapat-pendapatku. Jika terdapat kesesuaian antara pendapatmu dengan Al-Qur‟an dan sunnah maka ambillah dan jika sebaliknya maka tinggalkanlah”.
Imam Syafi‟I berkata “Jika segala sesuatu telah kukatakan ternyata tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, itulah yang harus kamu ikuti. Dan bila ada hadits sahih telah menyalahi mazbku maka ikutilah hadits tersebut karena sebenarnya hadits itu adalah mazabku.
Imam Hambali berkata “Janganlah kamu bertauhid (menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber dasarnya) kepadaku atau kepada Imam Malik atau kepada Imam Syafi‟I dan As Sauri tapi ambillah hukum-hukum dari tempat mereka mengambilnya.

C.    FUNGI IJTIHAD
            Ada beberapa fungsi ijtihad, diantaranya sebagai berikut:
1)      Sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan Hadits.
2)      Sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat dengan berpedoman pada Al-Qur‟an dan Hadits.
3)      Sebagai suatu cara yang disyariatkan untuk menyelesaikan permasalahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
4)      Sebagai wadah pencurahan pikiran bagi kaum muslim.

D.    LAPANGAN IJTIHAD
Dalam pandangan ulama’ salaf wilayah ijtihad terbatas pada masalah-masalah fiqhiyah, akan tetapi pada akhirnya wilayah tersebut berkembang pada berbagai aspek keislaman yang meliputi: Aqidah, filsafat, Tasawuf, dan feqih. Ibnu qoyyim mengatakan bahwa haram hukumnya memberikan fatwa hasil ijtihad yang menyalahi  nas, bahkan ijtihad menjadi gugur jika ditemukan nashnya. Sebagaimana diungkapkan oleh imam syafi’i:’” bila ada hadis shahih maka buanglah pendapatmu yang mengaikat dan benarkan hadis itu”.
Imam Ahmad berkata,”menurutku, perkara yang paling baik bagi Asy-Syafi’i adalah jika mendengarkan hadis belum diterima kemudian ia merujuk hadis itu dan meninggalkan pendapatnya”.
Kaitanya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum bisa menjadi objek ijtihad. Hal-hal yang tidak boleh di ijtihad antara lain;
1)        Masalah qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil yang pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli, hukum qoth’iyah sudah pasti keberlakuannya sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada peluang menginstimbatkan hukum bagi para mujtahid. Contoh: kewajiban sholat, puasa, zakat, dan haji, untuk masalah tersebut al-Qur’an telah mengatur dengan dalil yang shorih(tegas). Contoh lain: Bilangan rakaat sholat fardhu, cara menunaikan ibadah haji yang telah di tunjuk oleh hadist mutawatir. Untuk masalah tersebut tidak ada peluang untuk diijtihadkan, kewajiban kita hanya melaksanakan petunjuk nash. Sebagaiman bunyi kaidah ushuliyah: tidak berlaku ijtihadpada masalah yang telah ada nash dengan status qath’iy (dalalahnya) dan tegas. Demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihadnya berlawanan dengan nash.
2)        Masalah-masalah yang telah diijinkan oleh ulama’ mujtahid dari suatu masa, demikian pula lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi (gharu ma’qulil makna) dimana kualitas ‘illat hukumnya tidak dapat di cerna dan diketahui oleh akal mujtahid. Seperti pemberian 1/6(seperenam) pusaka untuk nenek perempuannya.
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah Dzanniyah, yaitu masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga memungkinkan adanya wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.
Masalah Dzanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1)        Hasil analisa para teolog yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan seseorang. Seperti Apakah Allah wajib berkehendak baik atau lebih baik ? sebagian ahli kalam(teolog) mewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah.
2)        Aspek Amaliyah yang dzany, yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kreterianya dalam nash. Contohnya, batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan mahrom, sebagaian berpendapat sekali sussan, ada yang tiga kali susuan dan lain-lain.
3)        Sebagai kaidah-kaidah dzanni  yaitu masalah qiyas, sebagian ulam’ memeganginya karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak karena qiyas bukan merupakan norma hukum tersendiri melainkan metode pemahaman nash.”

Pembagian tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak di singgung oleh al-Quran, sunnah maupun ijtima’. Hal ini merupakan masalah baru atau hukum baru.
Apabila ijtima’ ini bertentangan dengan nas, maka ijtihad itu batal, karena tidak ada ijtihad terhadap nash.
Memperhatikan fokus dalam kegiatan ijtihad terhadap nashterlihat upaya seoptimal mungkin menarik kesimpulan hukum dan sumber-sumernya. Oleh karena itu kegiatan ijtihad terbagi menjadi dua yaitu: ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Pada ijtihad istimbathi dengan seperangkat kaidah dilakukan untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan hukum secara tepat kepada pada suatu kasus. Dengan kegiatan semacam itu di samping harus mengetahui hukum material dan metode pengembangannya yang menjadi objek kajian adalah perbuatan manusia dan manusia itu sendiri sebagai elaku dengan sengaja kondisi dan perubahannya.
Sementara itu, menurut Yusuf al-Qardawi terdapat dua macam bentuk ijtihad yang pantas dilakukan pada saat ini yaitu ijtihad intiqol dan ijtihad inshal. Ijtihad intiqol yaitu mengadakan studi komparatif diantara pendapat-pendapat yang ada kemudian memilih pendapat yang dipandang lebih kuat dalil dan hujjahnya dengan menggunakan alat pengukur yang digunakan dalam mentarjih. Metode ini sangat tepat untuk masa sekarang, terlebih lagi jika dikonfirmasikan dengan mottoseorang mujtahid yang mengatakan:”pendapatku adalah benar, tapi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku adalah salah, tetapi mengandung kebenaran. Oleh karena itu, pendapat seorang mujtahid tidak selamanya benar, tapi di suatu sisi mengandung kesalahan dan untuk itu dapat dicari kebenaraanya melalui pendapat mujtahid lain.”
Sedangkan ijtihad inshai(ijtihad kreatif) yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, dimana permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh mujtahid sebelumnya baik masalahitu baru atau lama.
Dengan demikian masalah-masalah tersebut menerima berbagai macam interpretasi pendapat yang berbeda. Pendapat-pendapat orang lain yang juga berhak berijtihad tidak boleh dilakukan begitu saja. Solusinya adalah menggabungkan antara kedua metode tersebut ijtihad tersebut dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan kuat, kemudian menambahkan dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Al-Qardawi mengatakan bahwa ijtihad kontemporer semacam ini akan muncul dalam tiga bentuk perundang-undangan, bentuk fatwa atau dalam bentuk penelitian

E.     SYARAT-SYARAT SEORANG MUJTAHID
            Banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan ijtihad, diantaranya yang banyak disebutkan oleh ulama usul, yang terpenting ialah:
1)        Mempunyai pengatahuan yang luas tentang al-qur’an yang berkaitan dangan ayat-ayat hukum.
2)        Mempunyai pengathuan yang luas tentaang hadits yang berkaitan dengan hadits ahkam.
3)        Mengatahui masalah-masalah hukum yang sudah menjadi kosensus ulama
4)        Mempunyai pengatahuan yang luas tetang qiyas.
5)        Mengatahui ilmu logika, agar dapat menyimpulkan yang benar dan bisa dipertanggung jawabkan.
6)        Menguasai Bahas Arab secara mendalam.
7)        Mempunyai pengatahuan yang mendalam tentang nasikh mansuhk.
8)        Mengatahui seluruh kronologi datangnya nash.
9)        Mengatahui biografi perawi hadits dengan detail.
10)    Memahami metode istinbath secara mendalam.
11)    Harus orang yang tsiqah dan tidak tasahul dalam masalah agama.

F.     HUKUM BERIJTIHAD
            Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan pada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yanh berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib’ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
            Semua tindakan yang dilakukan seorang mukallaf tidak pernah terlepas dari hukum taklif. Hal itu juga disandarkan pada mujtahid dengan ketentuan sebagai berikut:
1)        Ijtihad menjadi wajib ain, apabila seorang mujtahid dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak ada hukunya, sedangkan tidak ada mujtahid lain untuk menyelesaikannya.
2)        Ijtihad menjadi wajib kifayah, apabila di suatu Negara terdapat banyak mujtahid dan tidak dikhawatirkan akan lambatnya menghukumi peristiwa tersebut.
3)    Ijtihad menjadi mandub, yaitu menghukumi peristiwa yang tidak pernah terjadi tapi diyakini akan terjadi pada waktu dekat.
4)        Ijtihad menjadi haram, apabila bertentangan nash-nash qat’I dan ijma’.
5)        Ijtihad dihuumi boleh dilakukan dalam hal yang tidak masu kategori di atas.

G.    TINGKATAN-TINGKATAN IJTIHAD
Seorang mujtahid berbeda tingkatannya sesuai dengan kapasitas keilmuannya dalam melaksanakan ijtihad. Ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid terdiri dari bebarapa tingkatan, sesuai dengan urutan berikut:
1)        Ijtihad mutlak
2)        Ijtihad dalam satu madzhab dan
3)        Ijtihad dalm satu macam ilmu saja, dan
4)        Ijtihad dalam beberapa masalah atau satu masalah dari satu macam ilmu.
Para mujtahid demikian pula, berbeda-beda tingkatannya sesuai tingkatan ijtihadnya Ijtihad mutlaq itu terbagi ke dalam dua bagian :
1)        Ijtihad yang berdiri sendiri dan
2)        Ijtihad yang tidak berdiri sendiri.

H.    MACAM-MACAM IJTIHAD

1)     Ijtihad Fardli atau Ijtihad secara individual ialah ijtihad yang dilakukan mujtahid dengan menggunakan metode sendiri tanpa terikat dengan mujtahid tertentu.
2)     Ijtihad Jama’i atau ijtihad secara kolektif adalah ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan menngunakan metode imam madzhab tertentu untuk mendukung pendapatnya
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit (jelas), timbul istilah ijtihad.
Ijtihad adalah mengerahkan segala kemapuan untuk mencapai tujuan. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah All-qur’an dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rosulullah. Hal ini sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi criteria tertentu.
Ijtihad dipandang sangat penting untuk merespon problem-problem yang datang silih berganti sesuai dengan perkembangan zaman, agar Islam selalushalih li kulli zamanin wa makanin.
Ijtihad dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula sebagai hakim. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun, dalam ijtihad terdapat perbedaan stratifikasi para mujtahid ke dalam beberapa martabat.
           
B.     Saran
            Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah agama yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Aszhar Basyir dkk, ijtihad dalam sorotan(Bandung: mizan, 1996).108
 Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih (Bandung: PT Alma’arif, 1973)145.
Jaih mubarok, ijtihad kemanusiaan(Bandung: pustaka bani qurasy.2005).5
Djalil, H. A. Basiq (2010). Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana.
Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA “Ilmu Ushul Fiqih” Pustaka Setia-Bandung
Ibid
Mubarak, Jaih, dkk. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosbakarya.
Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press, 2004
Ahmad Aszhar Basyir dkk, ijtihad dalam sorotan(Bandung: mizan, 1996).29

M.Ali Hasan, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Karena Setia Akan Kalah Dengan yang Siap

Merian Fauzi 00.34 0

Bicara tentang cinta?? Oh haruskah…

kesetian terkadang jarang dimiliki oleh seseorang baik itu cewek maupun cowok, tapi dalam tulisan kali ini saya akan membahas tetang kesetian seorang cewek terhadap cowoknya. Dewasa ini banyak kita lihat di lingkungan bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita para pemuda pemudi remaja yang menjalani hubungan asmara banyak yang mengatasnamakan kesetiaan dalam hubungan mereka,
ini cerita tentang nadia dan sang raja ,, hubungan mereka bisa dibilang sudah lama, mereka menjalani hubungan percintaan selama berapa tahun belakangan ini, tapi hubungan mereka dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga pada suatu ketika ada seorang cowok mendekati si nadia… nadia sosok wanita yang begitu manis, senyum di bibirnya tak pernah lepas, sosok periang,, mudah bergaul dengan teman baru dia kenal. Masa pendekatan cowok yang bernama brian terhadapan nadia terbilang lama,,dikarenakan brian cowok yang agak pendiam dan susah bergaul dengan teman yang baru dia kenal..perkenalan mereka berawal dari BBM.. hingga suatu hari mereka bertemu dan menjalin pertemanan dalam kehidupan nyata ,, tak terasa dari keakraban hubungan mereka melalui pesan singkat,telponan, dan BBMan membuat brian menjadi jatuh hati kepada nadia… nadia merupakan sosok wanita yang sangat di idamkan brian, sosok yang sangat ingin brian jadikan seorang pendamping hidup, selain karena sifat dan sikap nadia yang begitu religius juga perilakunya yang begitu sopan baik dan anggun.


Brian begitu suka terhadap nadia sehingga pada suatu hari brian mengungkapkan perasaannya kepada nadia, di satu sisi ia tak ingin merusak hubungan nadia dengan sang rajanya.. tapi dilain hal brian tak ingin membohongi  perasaaannya sendiri kalau ia begitu sayang dan cita terhadap nadia..

tak di sangka cinta brian di tolak nadia dengan alasan dia begitu cinta kepada pacarnya kesetiannya tak tergoda oleh kebaikan hati dan ketulusan cinta brian. Brian begitu kecewa dengan jawaban yang diterimanya sehingga membuat brian patah hati putus asa dan galau tingkat dewa. Brian memutuskan untuk menjahui nadia dan mencoba tuk melupakannya. Nomor hape bbm dan semua akun sosmed nadia di hapus dan di blokir brian. Lebih dari sebulan tanpa komunikasi dan pertemuan.
Bersambung.........

Tentang Diriku

Merian Fauzi 23.01 0
Terlihat disamping kanannya tiga pisau yang tajam dengan seorang penampakan di samping kirinya,perkenalkan his name is merianfodi.ia adalah seorang arsitektur bangunan yang punya cirri khas tersendiri.dapat dilihat digambar ia sedang merancang letak kayu agar api menyala dengan sangat besar tanpa asap.ia juga punya hobi yang unik yaitu hisap nasi, minum rokok,makan kopi.nah;Aneh bukan main itu orang.perjuangannya selama di ibu kota aceh dibilang sangat menakjubkan, ia sudah berhasil berkaya dgan membuat sebuah rumah bongkar pasang.bisa di bongkar bisa dipasang.bisa juga di bongkar ditarok dibecak dan dibawa kemanapun suka.dibelakangrumah punya sebuah kolam tanah yang juga bongkar pasang bisa diangkat dan dipindahin dengan mengggunakan becak.ciri khasnya berambut keriting seperti biri-biri zaman dulu.Kalo lagi panic matanya meloto keheranan seakan bertanya Tanya yang tak ada jawabnya. Saat ini ia sedang berkelana di seputaran jalan lingkar kampus dan sekitarnya. Sempat menjadi perhatian tetangga rumahnya karena dsebabkan kegemarannya membakar sampah sampai asap mengepul dan masuk rumah tetangga.katanya biar bersih padahal nyari sensasi.hahahaIa sudah sudah meraih rekor dunia yaitu” begadang,gali kolam,cat rumah, dan mencangkul selama 24 jam nonstop tanpa makan,minum,berak dan kencing”Pernah beberapa penantang dr Negara lain menantang rekor dunia yang ia pegang sekarang,namun percuma mereka gagal total karena kehausan.