Goresan Hitam

Merian Fauzi 02.06 0
Oleh : Satria Puta

Alumni Mahasiswa UIN Ar-Raniry Jurusan KPI-Komunikasi Unit-2 2009
Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Aku tertunduk menatap tangan putus diatas jembatan itu.remang malam membutakan segala. Matoel menangis sejadi-jadinya diatas pundakku. Air matanya mengalir terasa panas. Tiba-tiba seseorang memukul punggung Matoel dengan keras.

“ aw,,,” matoel mengerang

“ini gara-gara kau kan..? Ayo ngaku, tanggung jawab dong “, dasar bajingan”
ternyata itu dalah Nazar. Tangannya tergepal seperti hendak menghempaskan tinjunya kearah Matoel.

“Zar, kamu bisa tenang dikit gk sich, jgn buat situasi tambah membingungkan” aku coba menahan emosi Nazar.

“eh Tra kau jangan sok, mau tak tonjok juga” nazar mendorong keras tubuhku hingga terbentur tiang jembatan. Aku bangkit, kemudian kutarik Matoel yang menjadi sasaran balok kayu ditangan nazar.

Dari kejauhan terlihat seseorang berjalan kearah kami. Nazar menunduk, lalu memungut batu dan melempar kearah orang yng belum kami ketahui siapa.

Kemudian menyuruh kami diam. tak lama terdengar jeritan keras. sepertinya batu yang dilempar Nazar tepat sasaran. jeritan itu semakin dekat.

"haaaah, lela..?" aku dan Matoel saling pandang. tangan kiri Nazar mengeluarkan pisau, dari saku celana. ujung runcingnya diarahkan kepada kami, Matoel menggenggam tanganku erat.

"Matoel, Satria, Nazar..! , kalian ngapain disini?" lela keheranan melihat kami bertiga terpaku, tangannya sambil terus mengelus-elus bahu. mungkin dia kesakitan.

"kamu sndiri ngapain..? Nazar langsung menjawab tanpa memberi kami kesempatan.

"Lela baru dari kedai bang Lin, cari deterjen" jwbnya polos.

"Matoel.. kepala kamu kok berdarah, knapa..? tambahnya. belum sempat aku bicara, Nazar lebih dulu memotong.

"ohh, biasa.. cuma terantuk dinding tadi, ya udah kamu pulang sana. suasana lagi enggak aman.." Lela kebinggungan..

"maksud kamu apa Zar ?, aku gak ngerti. tolong kalian jangan buat aku takut"

"ia Lela, ada yang mengganggu kita disini. Matoel aja sampe jatuh sendiri, seperti ditabrak sesuatu" aku coba menjelaskan.

"tadi kamu menjerit kenapa?, bikin kami terkejut aja" Matoel menambahkan.

"jadi yang lempar aku tadi bukan kalian.?"

"haaah" aku dan matoel bengong, dan memilih diam.

"siapa yang lempar kamu. tu kan, kamu aja sampe ngalami hal yang sama. mendingan pulang aja" ujar Nazar menyakinkan.

"ya udah kita pulang bareng ya" Lela memohon

"kami tunggu Matoel baikan" kata Nazar sambil mengedipkan mata kearah kami.

" oke lah Lela balek duluan" Lela berajak pergi. kembali tinggal kami bertiga. suasana yang hening. dingin malam mencekam.

"ngapain kamu lempar dia Zar?" matoel bersuara

"emang aku tau kalau itu Lela haaah.. bego loe" jawab Nazar sinis.

"kamu tu keterlaluan ya, emang apa sich maksud kamu." aku mendekati Nazar.

" eh broe, kamu bisa diam gak, bediri disitu jgn mendekat" Nazar mengancukan pisau kearahku.

"kamu udah gila ya,? pengen suasana makin rumit iya." aku coba tetap mendekat.

"aku tu gak salah yang salah Matoel, dia yang mulai lebih dulu" Nazar membela diri, sambil mundur.
.
"udah jangan pada ribut. iya aku salah. trus sekarang kamu mau apa" matoel ikut mendekat kearah Nazar.

"mau bunuh aku..? ayo bunuh. kalo memang itu yang kamu inginkan" tantang Matoel.

"Matoel, apa-apaan sich kamu... udah ikut-ikutan gila" geramku, sambil menariknya kebelakang.

"lepasin aku, biarin. biar dia puas. dia udah gak bisa dibilangin pake mulut" Matoel berteriak lantang.

"kalian jangan mendekat, diam disituuuu.." Nazar balas berteriak. lalu duduk mendadak dan menghempaskan pisau kerumput. kemudian menjambak-jambak rambutnya yang gimbal. aku dan matoel keheranan. suasana kembali hening.

"seharusnya kalian bisa ngerti apa yang aku ingin" Nazar berkata sambil menunduk. suaranya tebata-bata.

Sejenak sebuah sepeda motor berhenti dihadapan kami. 2 orang diatasnya turun. Lelaki yang dibonceng memilih berdiri disamping sepeda motor. Tangannya menggepal tubuh. Sementara si pengendara mendekatiku.

“tadi Lela bilang, kalian disini sedang ada masalah. Lebih baik sekarang kita pulang, selanjutnya akan kita bicarakan dirumahku” ujar lelaki bernama Rian itu. Aku, Matoel dan juga Nazar masih diam.

“aku tau situasi sedang sulit, dan aku gak ingin kalian kenapa-kenapa” tambah Rian.

“makasih, kami baik-baik saja kok Yan. Kalian pulang aja. Ini urusan kami” sahutku sambil merapatkan kaki menutup tangan putus itu agar tidak keihatan.
Lelaki yang tadinya hanya berdiri disamping motor, sekarang mendekat kearah Matoel. Lalu mengangkat kepalanya yg sejak tadi tertunduk.

“Ini yang kamu bilang baik-baik aja” lelaki itu setengah berteriak dan mengusap darah dimuka matoel dengan tangannya, kemudian ditunjukan kepadaku. Aku hanya melirik. Rian terkejut.

“Rian kamu tunggu disini, aku antarin dia pulang dulu. Entar aku balik lagi” kata lelaki itu sambil mengarak Matoel kearah sepeda motornya. Matoel tidak menolak. Yang lain juga tidak berkomentar apapun. Sampai sepeda motor itu melaju.
Suara sepeda motor lelaki yang membawa matoel pulang sudah ditelan kejauhan. Rian mendekati nazar yang hanya menggaruk-garuk rumput, dan ikut duduk disebelahnya.

“aku gak da maksud untuk ikut campur urusan ini. Tapi aku ingin kalian mau bercerita. Ada apa sebenarnya” gumam Rian.

“Tanya aja sama dia. Mereka yang buat ulah. Aku Cuma meladenin aja” Nazar menunjuk kearahku dengan gusar.
***

“Astagfirullahalazim.. Matoel..!!! ayo langsung bawa keruangan ini” lelaki yang memakai rompi terkejut bukan main, saat melihat kepala Matoel dipenuhi darah. Kemudian lelaki yang memboncengnya tadi langsung bergegas merangkul Matoel dan membawanya keruangan yang ditunjuk.

“Ma’rif, tolong ambilkan alkohol dan kapas” kata lelaki yang menggunakan rompi.

“aku binggung kenapa hal-hal seperti ini bisa terjadi lagi di unit kita” kata Ma’rif sambil menyerah kan benda yang diminta oleh lelaki menggunakan rompi.

“tadi kamu disana ada lihat apa.?”

“ya, aku datang suasana udah berbeda. Mereka seperti menyembunyikan sesuatu”

“maksud kamu.?”

“Yed, kamu ingat kejadian yang menimpa aku minggu kemaren” lelaki yang bernama lengkap Sayed Muhammad Kamal itu menggangguk.

“terus kamu berfikir ini saling berhubungan” lama Ma’rif tidak menjawab.

“Aku hanya khawatir, keutuhan unit kita semakin buruk” jawab Ma’rif sambil melepaskan jaket yang telah kotor dengan darah dikepala Matoel.

“menurut kamu kita sekarang harus bagaimana” Ma’rif menarik nafas panjang, lalu bergekak kearah Matoel dan menutupi tubuhnya dengan kain.

”kita bicara diluar aja ya, biar Matoel istirahat dulu” Ma’rif mengarak Sayed kedepan.

“aku akan coba telusuri ini bersama Rian, kebetulan kami juga sedang mencari tau tentang kejadian yang menimpaku” lanjut Ma’rif.

Dari dalam ruangan terdengar suara handphone berdering. Ma’rif menyadari bahwa itu miliknya, lalu bergegas menuju sumber suara. Dan membawanya keluar, sebelum menatap kearah layar segi empat kecil itu.

“Rian..?” gumamnya.
“angkat..” kata Sayed
“Assalamualaikum..?Lama tak terdengar jawaban.

Ma’rif mengulangnya lagi sampai beberapa kali, namun tetap tampa jawaban. Ma’rif panik. Handphonenya dimatikan. Sayed sudah menunggu dengan tegang.

“gimana” tanya sayyed tampa sabar.

Ma’rif menggeleng. Kemudian masuk, dan meraih jaket serta helmnya.

“aku harus kesana” katanya sambil menyalakan mesin motor.

“aku ikut” sayyed merespon, dan mendekati ma’rif.

“jangan, kamu disini aja yed. Jagain matoel, aq biar pigi sendiri”

“ok kalo begitu. entar jika kamu ada sesuatu, hubungi aku ya” jawab Sayed.

Ma’rif membalas dengan mengacungkan jempol sambil menarik gas motornya.Kini sayyed tinggal sendiri dihalaman bangunan kecil milik u2. Pikirannya menerawang, tangannya menimbang-nimbang handphone. Sesekali matanya melirik jam yang tertempel didepan bangunan itu. Kadang ia berdiri, sambil melihat jalanan yang sepi pengendara. Setelah hampir setengah jam menunggu. Handphone nya pun berdering...
Sayed langsung meraih hanphonenya, tampa basa-basi ia menjawab

“iya Ma’rif gimana..?”

“ini aku Rian Yed”
“haaah..” sayyed terkejut.

“tadi bukannya kamu yang nelpon Ma’rif, dia kesitu jemput kamu. Kamu dimana masih ditempat tadi kan.?” Tanya Sayed panik

“aku gak tau sekarang ada dimana, tadi mereka menjatuhkanku dijalan”

“astagfirullah, tolong kamu beri sedikit keterangan, biar nanti Ma’rif kesitu”

“gelap semua Yed, aku juga sedang cari-cari tanda disini pepohonan semua. Aku berdiri dibawah pohon yang cukup besar, Cuma ada tanda lalu lintas rusak ‘dilarang mendahului’” jawab Rian.

“Kamu jangan ke mana – mana, aku telpon Ma’rif dulu. Ntar biar dia yang jemput.”
Sayed memutuskan telpon dan langsung memencet tombol lain. tak lama ia kembali menempelkannya ke telinga.
Ayo angkat Sayed sangat gundah saat Ma’rif tak kunjung mengangkat teleponnya. Dua tiga kali terputus namun seperti enggan putus asa, akhirnya

“Halo Sayed”

“Iya Ma’rif gimana?”

“Mereka udah gak ada disini Yed. Sahut orang diseberang telponnya.? nomor Rian juga tidak bisa di hubungi” lanjutnya parau terbayang bayangi dari kejauhan sebuah sepeda motor melaju kencang didepan mata Sayed. Sayed terus melihat terlupakan telponnya seperti kenal dengan pengendara itu. Si pengendara sempat memaling kearah Sayed namun motornya terlalu kencang melaju. Sayed terpana, sebelum terkejut dengan teriakan ditelponnya

“Halo Sayed. Yed”

“i……….iya Ma’rif jawabnya terbata”

“a……….aku barusan lihat Satria dan Nazar lewat sini”

“hah……trus Rian dimana?????”

“Kata Rian mereka menjatuhkannya di jalan”

“Rian bilang gak kalian ada di mana?”

“Dia sendiri juga bingung ada di mana. Dia Cuma bilang sekarang berada di bawah pohon besar dan Cuma ada tanda lalu lintas rusak” Sayed coba menjelaskan

“Yaudah aku cari Rian dulu. Kamu jangan ke mana- mana. jagain matoel”

“Ok, kamu hati-hati ya” balas Sayed

“Sippp..”, jawab Ma’rif singkat

BERSAMBUNG.
*Cerita ini hanya pengembangan dari mimpi seseorang, kesamaan tokoh, watak dan nama hanya sebuah kebetulan. Unsur2 diatas berupa fiksi yang berbanding terbalik dengan aslinya. Mohon kritik dan saran.