Makalah agama tentang Ijtihad

Merian Fauzi 00.44
BAB I
                                                              PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya. Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman Rasul saw, antara lain dapat dilacak dari riwayat ‘Amr bin ‘Ash yang mendengar Rasulullah saw bersabda:
            “Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemjudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya maka untuknya satu pahala”.
            Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
                       
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian ijtihad
2.    Apa saja dasar hukum ijtihad
3.    Apa fungsi ijtihad
4.    Bagaimana lapangan (wilayah) ijtihad
5.    Apa syarat-syarat menjadi seorang mujtahid
6.    Apa hukum orang berijtihad
7.    Tingkatan-tingkatan apa saja yang ada dalam mujtahid.
8.    Apa saja macam-macam ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN IJTIHAD
            Kata ijtihad berasal dari kata “al jahdu”  dan “al juhdu” yang berarti “daya upaya” dan “usaha keras”, adapun definisi Ijtihad menurut istilah mempunyai dua pengertian: arti luas dan arti sempit, ijtihad dalam arti luas tidak hanya mencakup pada bidang fiqh saja, akan tetapi juga masuk ke aspek-aspek kajian islam yang lain, seperti tasawuf dan aqidah.
            Definisi itu di munculkan oleh ulama Hanafiah bahwa ijtihad adalah “ usaha keras untuk mencapai tujuan atau memproleh sesuatu”, definisi ini menggambarkan bahwa pengerahan segala kemampuan dan usaha keras dalam menyelesaikan persoalan atau mencapai sebuah tujuan dalam berbagai bidang.
            Menurut perspektif  ulama fiqh, ijtihad mempunyai ruang lingkup pengertian yang sangat sempit. Menurut mereka diantaranya ulama Syafi’iah, ijtihad hanya ada pada bidang fiqh saja. Mereka mendefinisikan Ijtihad  adalah:
Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan menentukan dari kita dan sunnah.”
            Sedangkan orang yang ber-ijtihad itu dikenal dengan sebutan Mujtahid. Adapun pengertian dari Mujtahid sendiri ialah:
 “Mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama dengan jalan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah”.
            Sebenarnya menurut Sa’id Agil Al-Munawar, dua pengertian ijtihad yang dikemukakan para ulama mengarah pada ruang lingkup yang luas, tidak hanya terspesifikasis dalam bidang fiqh, tetapi juga ada dalam ilmu keislaman lainnya seperti ilmu hadis, akhlaq dan kalam. Fiqh pada definisi kedua mempunyai cakupan arti yang luas sehingga mencakup fiqh dalam arti sempit, kalam, akhlaq dan tasawuf.
            Salah satu contoh yang menarik bahwa pada masa Abu Hanifah dan Syafi’i, mereka menyebut kalam dengan fiqh, sebagai bukti historisnya adalah mereka menulis kitab yang berjudul al-fiqhul akbar yang isinya ilmu kalam. Hal itu menginformasikan bahwa kalam pada masa itu disebut fiqh.
            Menurut bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh, bersusah payah, menggunakan segenap kemampuan. Maka, sebagian kaum muda beranggapan bahwa jika mereka bersusah payah menggali hukum syar’iyyah dengan segenap ilmunya yang sangat minim dan segenap kemampuan akalnya yang dangkal, itu adalah ijtihad.
            Namun dikalangan ulama, ijtihad khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fuqoha) untuk mengetahui hukum syari’at. Adapun Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at.
            Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul.
            Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum islam). Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
            Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
            Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian  jahada terdapat didalam Al-qur’an surat Ai-Nahl ayat 38, surat an-Nur ayat 53, dan surat Fathir ayat 42. Semua kata itu berarti pengarahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus’I wa al-thaqah), atau juga berarti kelebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
            Dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat pada sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a (fajtahidu fi al-du’a)”. Dan hadits lain yang artinya “Rasul Allah SAW bersunggu-sungguh (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (termenologi). Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Al-Qur’an, ijtihad dengan al-sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash,

B.     DASAR HUKUM IJTIHAD
            Dasar-dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW, yang nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).
1)        Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an, antara lain:
“Maka jika kamu berbantah-bantahan kepada suatu urusan, kembalikanlah akan dia kepada Allah dan Rasulnya”. (Q.A. 59 s: 4: An-Nisa’).
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S. al-Ra’ad:3; al-Rum:21; al-Zumar:42).
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Q.S. al-Hasyr:2).
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar.
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S. al-Hasyr:2).
Kata dalam ayat tersebut mencakup penetapan hukum yang berdasarkan penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash, yang dikenal dengan sebutan qiyas. Jadi, ayat diatas secara terbuka mengakui prinsip ijtihad dengan metode qiyas sebagai salah satu cara untuk berijtihad.
2)        Dari Hadits
Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:
Dari Mu’az bin Jabal berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana upaya kamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’az menjawad, “akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah(Al-Qur’an)”. Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an?” Mu’az menjawab, “akan aku selesaikan berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam sunnah Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dari Al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menelesaikannya?” Mu’az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan rasioku dan tidak mengabaikannya”. Kemudian Rasulullah menepik dada Mu’az sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta rasul-nya terhadap apa yang direstui oleh Rosulullah”. (H.R. Abu Dawud).
Hadist tersebut berkenaan dengan riwayat ketika Mu’az bin Jabal akan diutus menjadi qodhidi negeri Yaman. Tetapi sahabat nabi itu tidak pernah bersikap fanatik terhadap pendapatnya, ia selalu mengatakan: ”inilah pendapat saya……….. dan kalau ada yang lain membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapat itulah yang lebih benar”.
Dari Amr bin ‘Ash ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila seorang Hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia herijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah, maka ia mendapat satu pahala”. (H.R. Muslim dan Ahmad).
Dari dua hadist di atas, sangatlah jelas bahwasanya ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, apabila tidak ditemukan didalam Al-qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah.hadist-hadist di atas, juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu beriktihad untuk melakukan ijtihad.
Adapun yang menjadi dasar ijtihad ialah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantara ayat Al-qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat.’(Q.S. an-Nisa [4]:105).

3)        Asar sahabat
Artinya perilaku atau perkataan sahabat contoh sahabat yang ada yaitu pertanyaan Umar bi Abi Khatab r.a, beliau mengatakan sesungguhnya umat telah bersungguh-sungguh mencari kebenaran namun ia tidak mengetahui akan kebenaran itu sudah tercapai atau tidak.
4)        Beberapa fatwa Imam Mujtahidin
Imam Malik berkata “Aku hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan benar maka periksalah pendapat-pendapatku. Jika terdapat kesesuaian antara pendapatmu dengan Al-Qur‟an dan sunnah maka ambillah dan jika sebaliknya maka tinggalkanlah”.
Imam Syafi‟I berkata “Jika segala sesuatu telah kukatakan ternyata tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, itulah yang harus kamu ikuti. Dan bila ada hadits sahih telah menyalahi mazbku maka ikutilah hadits tersebut karena sebenarnya hadits itu adalah mazabku.
Imam Hambali berkata “Janganlah kamu bertauhid (menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber dasarnya) kepadaku atau kepada Imam Malik atau kepada Imam Syafi‟I dan As Sauri tapi ambillah hukum-hukum dari tempat mereka mengambilnya.

C.    FUNGI IJTIHAD
            Ada beberapa fungsi ijtihad, diantaranya sebagai berikut:
1)      Sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan Hadits.
2)      Sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat dengan berpedoman pada Al-Qur‟an dan Hadits.
3)      Sebagai suatu cara yang disyariatkan untuk menyelesaikan permasalahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
4)      Sebagai wadah pencurahan pikiran bagi kaum muslim.

D.    LAPANGAN IJTIHAD
Dalam pandangan ulama’ salaf wilayah ijtihad terbatas pada masalah-masalah fiqhiyah, akan tetapi pada akhirnya wilayah tersebut berkembang pada berbagai aspek keislaman yang meliputi: Aqidah, filsafat, Tasawuf, dan feqih. Ibnu qoyyim mengatakan bahwa haram hukumnya memberikan fatwa hasil ijtihad yang menyalahi  nas, bahkan ijtihad menjadi gugur jika ditemukan nashnya. Sebagaimana diungkapkan oleh imam syafi’i:’” bila ada hadis shahih maka buanglah pendapatmu yang mengaikat dan benarkan hadis itu”.
Imam Ahmad berkata,”menurutku, perkara yang paling baik bagi Asy-Syafi’i adalah jika mendengarkan hadis belum diterima kemudian ia merujuk hadis itu dan meninggalkan pendapatnya”.
Kaitanya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum bisa menjadi objek ijtihad. Hal-hal yang tidak boleh di ijtihad antara lain;
1)        Masalah qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil yang pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli, hukum qoth’iyah sudah pasti keberlakuannya sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada peluang menginstimbatkan hukum bagi para mujtahid. Contoh: kewajiban sholat, puasa, zakat, dan haji, untuk masalah tersebut al-Qur’an telah mengatur dengan dalil yang shorih(tegas). Contoh lain: Bilangan rakaat sholat fardhu, cara menunaikan ibadah haji yang telah di tunjuk oleh hadist mutawatir. Untuk masalah tersebut tidak ada peluang untuk diijtihadkan, kewajiban kita hanya melaksanakan petunjuk nash. Sebagaiman bunyi kaidah ushuliyah: tidak berlaku ijtihadpada masalah yang telah ada nash dengan status qath’iy (dalalahnya) dan tegas. Demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihadnya berlawanan dengan nash.
2)        Masalah-masalah yang telah diijinkan oleh ulama’ mujtahid dari suatu masa, demikian pula lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi (gharu ma’qulil makna) dimana kualitas ‘illat hukumnya tidak dapat di cerna dan diketahui oleh akal mujtahid. Seperti pemberian 1/6(seperenam) pusaka untuk nenek perempuannya.
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah Dzanniyah, yaitu masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga memungkinkan adanya wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.
Masalah Dzanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1)        Hasil analisa para teolog yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan seseorang. Seperti Apakah Allah wajib berkehendak baik atau lebih baik ? sebagian ahli kalam(teolog) mewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah.
2)        Aspek Amaliyah yang dzany, yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kreterianya dalam nash. Contohnya, batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan mahrom, sebagaian berpendapat sekali sussan, ada yang tiga kali susuan dan lain-lain.
3)        Sebagai kaidah-kaidah dzanni  yaitu masalah qiyas, sebagian ulam’ memeganginya karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak karena qiyas bukan merupakan norma hukum tersendiri melainkan metode pemahaman nash.”

Pembagian tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak di singgung oleh al-Quran, sunnah maupun ijtima’. Hal ini merupakan masalah baru atau hukum baru.
Apabila ijtima’ ini bertentangan dengan nas, maka ijtihad itu batal, karena tidak ada ijtihad terhadap nash.
Memperhatikan fokus dalam kegiatan ijtihad terhadap nashterlihat upaya seoptimal mungkin menarik kesimpulan hukum dan sumber-sumernya. Oleh karena itu kegiatan ijtihad terbagi menjadi dua yaitu: ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Pada ijtihad istimbathi dengan seperangkat kaidah dilakukan untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan hukum secara tepat kepada pada suatu kasus. Dengan kegiatan semacam itu di samping harus mengetahui hukum material dan metode pengembangannya yang menjadi objek kajian adalah perbuatan manusia dan manusia itu sendiri sebagai elaku dengan sengaja kondisi dan perubahannya.
Sementara itu, menurut Yusuf al-Qardawi terdapat dua macam bentuk ijtihad yang pantas dilakukan pada saat ini yaitu ijtihad intiqol dan ijtihad inshal. Ijtihad intiqol yaitu mengadakan studi komparatif diantara pendapat-pendapat yang ada kemudian memilih pendapat yang dipandang lebih kuat dalil dan hujjahnya dengan menggunakan alat pengukur yang digunakan dalam mentarjih. Metode ini sangat tepat untuk masa sekarang, terlebih lagi jika dikonfirmasikan dengan mottoseorang mujtahid yang mengatakan:”pendapatku adalah benar, tapi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku adalah salah, tetapi mengandung kebenaran. Oleh karena itu, pendapat seorang mujtahid tidak selamanya benar, tapi di suatu sisi mengandung kesalahan dan untuk itu dapat dicari kebenaraanya melalui pendapat mujtahid lain.”
Sedangkan ijtihad inshai(ijtihad kreatif) yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, dimana permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh mujtahid sebelumnya baik masalahitu baru atau lama.
Dengan demikian masalah-masalah tersebut menerima berbagai macam interpretasi pendapat yang berbeda. Pendapat-pendapat orang lain yang juga berhak berijtihad tidak boleh dilakukan begitu saja. Solusinya adalah menggabungkan antara kedua metode tersebut ijtihad tersebut dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan kuat, kemudian menambahkan dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Al-Qardawi mengatakan bahwa ijtihad kontemporer semacam ini akan muncul dalam tiga bentuk perundang-undangan, bentuk fatwa atau dalam bentuk penelitian

E.     SYARAT-SYARAT SEORANG MUJTAHID
            Banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan ijtihad, diantaranya yang banyak disebutkan oleh ulama usul, yang terpenting ialah:
1)        Mempunyai pengatahuan yang luas tentang al-qur’an yang berkaitan dangan ayat-ayat hukum.
2)        Mempunyai pengathuan yang luas tentaang hadits yang berkaitan dengan hadits ahkam.
3)        Mengatahui masalah-masalah hukum yang sudah menjadi kosensus ulama
4)        Mempunyai pengatahuan yang luas tetang qiyas.
5)        Mengatahui ilmu logika, agar dapat menyimpulkan yang benar dan bisa dipertanggung jawabkan.
6)        Menguasai Bahas Arab secara mendalam.
7)        Mempunyai pengatahuan yang mendalam tentang nasikh mansuhk.
8)        Mengatahui seluruh kronologi datangnya nash.
9)        Mengatahui biografi perawi hadits dengan detail.
10)    Memahami metode istinbath secara mendalam.
11)    Harus orang yang tsiqah dan tidak tasahul dalam masalah agama.

F.     HUKUM BERIJTIHAD
            Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan pada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yanh berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib’ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
            Semua tindakan yang dilakukan seorang mukallaf tidak pernah terlepas dari hukum taklif. Hal itu juga disandarkan pada mujtahid dengan ketentuan sebagai berikut:
1)        Ijtihad menjadi wajib ain, apabila seorang mujtahid dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak ada hukunya, sedangkan tidak ada mujtahid lain untuk menyelesaikannya.
2)        Ijtihad menjadi wajib kifayah, apabila di suatu Negara terdapat banyak mujtahid dan tidak dikhawatirkan akan lambatnya menghukumi peristiwa tersebut.
3)    Ijtihad menjadi mandub, yaitu menghukumi peristiwa yang tidak pernah terjadi tapi diyakini akan terjadi pada waktu dekat.
4)        Ijtihad menjadi haram, apabila bertentangan nash-nash qat’I dan ijma’.
5)        Ijtihad dihuumi boleh dilakukan dalam hal yang tidak masu kategori di atas.

G.    TINGKATAN-TINGKATAN IJTIHAD
Seorang mujtahid berbeda tingkatannya sesuai dengan kapasitas keilmuannya dalam melaksanakan ijtihad. Ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid terdiri dari bebarapa tingkatan, sesuai dengan urutan berikut:
1)        Ijtihad mutlak
2)        Ijtihad dalam satu madzhab dan
3)        Ijtihad dalm satu macam ilmu saja, dan
4)        Ijtihad dalam beberapa masalah atau satu masalah dari satu macam ilmu.
Para mujtahid demikian pula, berbeda-beda tingkatannya sesuai tingkatan ijtihadnya Ijtihad mutlaq itu terbagi ke dalam dua bagian :
1)        Ijtihad yang berdiri sendiri dan
2)        Ijtihad yang tidak berdiri sendiri.

H.    MACAM-MACAM IJTIHAD

1)     Ijtihad Fardli atau Ijtihad secara individual ialah ijtihad yang dilakukan mujtahid dengan menggunakan metode sendiri tanpa terikat dengan mujtahid tertentu.
2)     Ijtihad Jama’i atau ijtihad secara kolektif adalah ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan menngunakan metode imam madzhab tertentu untuk mendukung pendapatnya
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit (jelas), timbul istilah ijtihad.
Ijtihad adalah mengerahkan segala kemapuan untuk mencapai tujuan. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah All-qur’an dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rosulullah. Hal ini sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi criteria tertentu.
Ijtihad dipandang sangat penting untuk merespon problem-problem yang datang silih berganti sesuai dengan perkembangan zaman, agar Islam selalushalih li kulli zamanin wa makanin.
Ijtihad dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula sebagai hakim. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun, dalam ijtihad terdapat perbedaan stratifikasi para mujtahid ke dalam beberapa martabat.
           
B.     Saran
            Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah agama yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Aszhar Basyir dkk, ijtihad dalam sorotan(Bandung: mizan, 1996).108
 Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih (Bandung: PT Alma’arif, 1973)145.
Jaih mubarok, ijtihad kemanusiaan(Bandung: pustaka bani qurasy.2005).5
Djalil, H. A. Basiq (2010). Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana.
Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA “Ilmu Ushul Fiqih” Pustaka Setia-Bandung
Ibid
Mubarak, Jaih, dkk. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosbakarya.
Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press, 2004
Ahmad Aszhar Basyir dkk, ijtihad dalam sorotan(Bandung: mizan, 1996).29

M.Ali Hasan, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Artikel Terkait

Previous
Next Post »