“IBU” SENDIRIAN DI KAKI BUKIT

Merian Fauzi 03.25
Oleh : Sayed Muhammad Kamal
Waktu itu salah satu organisasi kampus IAIN Korp sukarela PMI IAIN mengadakan lintas terampil tingkat Nasional, tepatnya disuatu kawasan Aceh Besar daerah indrapuri di sebuah desa pendalaman yaitu kreung jreu.
Lintas Terampil adalah salah satu kegiatan sosial yang melatih kader anggota PMI, adapun kegiatan tersebut dalam bentuk materi dan praktek.
Pesertanya utusan Universitas tingkat Nasional yang bergabung dalam wadah organisasi PMI, masing-masing Universitas di minta mengirim peserta sebanyak lima orang, mereka diminta mengisi formulir dan membayar Administrasi.
Persiapan untuk mengadakan event tersebut pun mendapat respon baik dari berbagai pihak termasuk Rektor  IAIN dan beberapa lembaga lainnya, mereka memberi dukungan baik berupa finansial dan motivasi juga turut serta meramaikan kegiatan.
Seluruh anggota KSR-PMI IAIN dilibatkan demi kesuksesasan acara, tiap-tiap anggota mendapat tugas masing-masing per seksi, diantaranya ada seksi tempat dan kegitan, seksi acara dan beberapa seksi lainnya.
Saya dan beberapa kawan mendapatkan tugas dibagian tempat dan perlengkapan, kami mulai mempersiapkannya dan menuju tempat kegiatan. Mulai dari membersihkan tempat dan mendirikan tempat penginapan dalam bentuk tenda, ini berlangsung selama satu minggu dan kami nginap ditempat tersebut selama kegiatan berlangsung.
Hal yang menarik dan mengharukan bagi saya selama persiapan tersebut yaitu mengenal seorang ibu, Rumahnya tidak jauh dari tempat kami adakan kegiatan, Beliau tinggal seorang diri dan memiliki dua orang anak yang sudah berumah tangga.
Jauh dari perkampungan tepatnya di kaki gunung, bayangkan bagaimana kita harus hidup seorang diri siang dan malam hanya ada berbagai suara yang terdengar, kita hanya berbicara seorang diri.
Pertemuan saya dengan ibu itu tanpa di sengaja, waktu itu saya turun kesungai bersama kawan, maksud kami ingin mandi dan menangkap ikan, tiba-tiba saya melihat seorang ibu sedang mencuci pakaian, jujur waktu itu saya bingung dan penuh tanda tanya, apakah itu benar yang saya lihat sampai saya mendekatinya dan mengajaknya untuk ngobrol.
Kawan saya terus menangkap ikan, saya larut dalam perkenalan sama ibu tersebut, ketika kami mau pulang beliau juga mau pulang, dikepala nya baju cucian sedangkan ditangannya membawakan air, saya pun dengan senang hati ingin membantu untuk mengangkut air membawa pulang kerumahnya,
Besok harinya kami memberanikan diri untuk menjenguk beliau, kebetulan juga ibu tersebut sedang menyapu halaman, kami dipersilahkan untuk duduk, beberapa menit kemudian kami dihadangkan minum air kopi, saya beranikan diri untuk bertanya,”ibu tinggalnya sendiri?”, beliau senyum kemudian beliau menjawab .”ia Nak”.
Beberapa menit kemudian Mulailah  ibu itu bercerita, “saya tinggal sendiri tapi dulunya saya tinggal bersama suami dan dua orang anak, namun kami bercerai karena saya tidak tahan setiap harinya saya disalahkan dan tidak segan-segan tangan juga berbicara. Bahwa suaminya itu bertangan dingin, sampai tangan ibu tersebut tergilir akibat ulah kekerasan suaminya,
Anaknya yang perempuan sudah berumah tangga, dan jarang menjenguk begitu juga Anaknya yang lelaki jarang pulang dan jarang memperhatikan ibu nya.
Beliau terus bercerita banyak hal, kami hanya terdiam, memang sangat ironis tidak tega mendengarkan cerita tersebut tidak sepatah kata pun keluar dari mulut kami, di ujung pembicaraan beliau mengatakan,”ibu tidak takut tinggal seorang diri, ibu tau dalam hidup ini kita sebenarnya tidak sendiri dimana pun dan kapanpun Allah selalu ada, Ibu hanya bisa berdoa dan meminta pertolongan sama Allah selebih dari itu hanya kuasanya dan ketentuannya yang sudah tertulis jauh sebelum kita diciptakan”.
Setelah bercerita panjang lebar, Pada hari itu juga kami di jamu makan siang, kami juga membantu memasak, dilanjutkan makan siang bersama-sama.
Lima jam dirumah ibu itu serasa sebentar, kami pamit pulang untuk kembali beraktifitas, sesampai di tenda saya masih teringat dengan kisah yang di alami ibu itu,
Besok harinya kami berangkat lagi ke sungai untuk mandi pagi dan menangkap ikan, dalam hati saya menunggu ibu itu ke sungai karena ingin membantu untuk mengangkut air kerumahnya, lagi asyik-asyiknya kami menangkap ikan, tiba-tiba ibu itu datang dengan membawa ember angkut air.
Dari kejauhan saya mendekati nya, beliau tersenyum berkata,”mau bantu angkut airkan?,” saya pun tersenyum dengan nada bercanda,”mau minta makan siang bu”. Boleh jawabnya, Ayoo kerumah, tidak lama kemudian kami pun pulang bersama-sama seperti biasa ditangan saya dan kawan saya membawa pulang air untuk ibu.
Saya sudah menganggapnya seperti ibu sendiri, dan beliu tanpa merasa segan juga memberi nasehat yang baik dan petuah yang patut di teladani,
Tiba Hari terakhir, kegiatan kami pun ditutup dengan rapi, teman-teman anggota yang lain bergegas pulang ke Banda Aceh, sedangkan saya bersama tiga rekan kami di tempat itu karen harus mengemas kembali barang-barang yang akan di bongkar.
Semuanya sudah siap untuk kembali pulang, sebelum berangkat pulang saya menyempatkan diri untuk menjenguk ibu, berdua sama teman kami membawa sekarung beras dan satu baju kegiatan untuk ucapan terimakasih, saya merasa sudah jadi bagian dalam hidupnya.
Setelah berpamitan sama ibu kami kembali ketempat kegiatan, saya bersama teman kini bersiap meninggalkan desa tersebut, Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar seperti yang di inginkan.


Artikel Terkait

Previous
Next Post »