Makalah Ta'zir

Merian Fauzi 00.17
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara umum, proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor para murid imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya pendapat tersebut di kalangan masyarakat. Karena pada dasarnya, para imam mazhab tidak mengakui atau mengkklaim sebagai “mazhab”. Secara umum, mazhab berkaitan erat dengan “nama imam” atau tempat.
Tiap-tiap mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun, perbedaan itu hanya sebatas pada masalah-masalah furu’, bukan masalah-masalah prinsipil atau pokok syari’at. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syariat Islam.
Mazhab adalah aliran pemikiran atau perspektif di bidang fiqh, yang kemudian menjadi komunitas dalam masyarakat Islam. Mazhab, bagaika aliran sungai dari mata air yang sama. Di tengah perjalanan bertemu dengan aliran sungai lain; yang juga bercabang dan beranting. Oleh karena itu, dalam realitas masyarakat Islam terdapat berbagai mazhab, seperti Ahlusunnah (Sunni), Syi’ah (Syi’i) dan Khawarij.
Dalam komunitas Sunni terdapat sekirat 13 (tiga belas) mazhab, diantaranya empat mazhab masih berkembang (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Dalam komunitas Syi’I terdapat 4 mazhab, diantaranya tiga mazhab masih berkembang (Ja’fari [Imami], Zaidi, dan Isma’ili). Sedang dalam komunitas Khawarij hanya terdapat satu mazhab yang masih berkembang yakni mazhab ‘Ibadi. Perkembangan berbagai mazhab itu, selain didukung oleh fuqaha (mujtahid) serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari kekuasaan politik. 
Ketika mazhab masih dalam wujud aliran pemikiran, yang bertumpu pada imam mazhab, dalam komunitas Sunni terdapat dua aliran yang berada dalam kutub yang berseberangan, yakni ahl al-ra’y (rasionalis logis) dan ahl al-hadits (tradisionalis-empiris). Dari sinilah akan dibahas imam mazhab Sunni yang pemikirannya menganut kedua aliran tersebut.

B.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, selain untuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah juga sebagai bahan belajar khususnya mahasiswa-mahasiswa sekalian, semoga dengan adanya makalah ini bias menjadi bahan rujukan atau bahan belajar mahasiswa maupun mahasiswi sekalian.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Mazhab
Mazhab (مذهب) menurut bahasa berarti “jalan” atau “the way of”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.
Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘e dan Mazhab Hanbali.[1]
Mazhab fiqh pula, sebagaimana dijelaskan oleh Huzaemah Tahido, bererti: Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempoh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Ianya juga bererti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya[2]





2.      Lahirnya Mazhab Fiqh
Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat yaitu Maliki, Hanafi, Shafi‘i dan Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasid, yaitu sejak tahun ke 2H/8M.
Sejarah kemunculan dan perkembangannya boleh dilihat dalam 4 peringkat, yaitu:
1)      Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rashidun yang empat.
2)      Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyad dan Abbasid di mana pada ketika inilah mazhab-mazhab Islam mula muncul dan berkembang.
3)      Pada era kejatuhan Islam, iaitu mulai kurun ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.
4)      Era kebangkitan semula Islam dan ilmu-ilmunya sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.

3.      Pembukuan Hadits
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
Ø  Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
Ø  Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
Ø  Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan sebenarnya.

Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”

4.      Pengaruh Terhadap Perkembangan Tasyri’
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sunnah merupakan sumber islam kedua bagi ilmu fiqh dan syariat setelah Al-qur’an. Oleh karena itu, memandang sunnah sebagai sumber dalil bagi hukum-hukum syariat merupakan suatu pembahasan yang baik dan menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fikih dan semua mazhab fiqih. Dalam hal ini, Imam Auza’I wafat pada 157 H, mengatakan bahwa Al;qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah terhadap Al-qur’an. Hal itu karena sunnah berfungsi menjelaskan makna dan merinci keutamaan Al-qur’an. Berdasarkan kenyataan ini, sebagian ulama mengatakan bahwa sunnahlah yang memegang keputusan terhadap Al Kitab. Dengan kata lain fungsi sunnah adalah menjelaskan makna yang dimaksut Al-qur’an.
Akan tetapi Imam Ahmad masih kurang puas dengan ungkapan ini, tapi tidak berani mengatakan demikian dan hanya mengatakan bahwa sunnah itu menjelaskan makna Al-qur’an. Pendapat ini cukup adil, yaitu memandang sunnah sebagai penjelas Al-qur’an dan disisi lain subjek yang dikemukakan sunnah meliputi Al-qur’an dan tidak pernah keluar atau menyimpang darinya. 
Status sunnah sebagai sumber hokum bagi pen-tasyri’-an (perintah) dalam masalah ibadah dan muamalah, individu, keluarga, mayarakat dan Negara tidak diperselisihkan lagi. Imam Syaukani mengatakan bahwa ketetapan status sunnah hujjah dan kemandiriannya dalam merealisasikan hokum syariat dan sunnah sebagai keharusan agama, tidak ditentang oleh seorangpun, selain oleh orang yang mempunyai pemahaman dangkal terhadap agama islam.
Seseorang yang membaca kitab fikih islam dan mazhab apapun, akan banyak menemukan dalil sunnah, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Dalam hal ini orang-orang atau kalangan yang dikenal dalam tarikh fikih dengan sebutan golongan ahli hadis dan yang dikenal dengan sebutan ahli ra’yu sama saja. Prinsip pokoknya dapat diterima oleh kedua kalangan tersebut.. perbedaan pendapat hanya ada dalam perincian dan penerapannya sebagai konsekuensi perbedaan mereka dalam mensyaratkan hadis yang dapat diterima dan pengamalannya. Dengan demikian, orang yang membaca kitab mazhab Hanafi (aliran nasionalis) akan menemukan banyak hadis yang dijadikan sandaran hokum oleh guru-guru mereka. Sebagian orang yang fanatic dan tidak objektif mengatakan bahwa di antara mereka ada orang yang wawasannya kurang dalam meriwayatkan hadist karena kurangnya perhatian terhadap bidang ini. Padahal tuduhan itu tidak pantas dilancarkan terhadap imam besar karena sesungguhnya syariat islam hanya dapat disimpulkan dari Al-quran dan sunnah. Orang yang sedikit memiliki perbendaharaan hadist, diharuskan menuntut dan meriwayatkannya, serta bersungguh-sungguh menekuni bidang ini supaya dia dapat menyimpulkan hukum-hukum agama dari sumber-sumber yang benar dan menerimanya dari Nabi yang ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikannya.
Agar sunnah dapat dijadikan rujukan dalam hokum tasyri’, terlebih lagi kita harus menelitinya dengan pembuktian yang sumber-sumbernya dari Nabi. Kriteria ini menurut peristilahan ilmu mushthalah hadis-agar hadis dapat dijadikan dalil_ hendaklah hadist itu berpredikat shahih atau hasan. Predikat shahih menurut yudisium yang diberikan oleh universitas, berarti istimewa dan baik sekali, sedangkan predikat hasan berartti baik atau sedang. Oleh karena itu dpat dikatakan bahwa predikat hasan yang tinggi lebih mendekati predikat shahih, sebagaimana predikat hasan yang rendah, lebih dekat dengan criteria dhaif .

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kita dapat menyimpulkan dengan pasti bahwa semua ahli fiqh kaum mislimin dari berbagai aliran dan mazhabnya dikota-kota besar, baik dari kalangan yang mazhabnya masih ada maupun yang sudah pudar, baik dari kalangan orang-orang yang diikuti maupun bukan, berpendapat bahwa sunnah merupakan pegangan dan sumber hokum mereka dalam menetapkan hokum-hukum fikih, yaitu apabila dalam sunnah tersebut terdapat suatu penjelasan yang menerangkan hokum agama Allah. Mereka sama sekali tidak mau menentang perintah yng diisyaratkan oleh sunnah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara orang yang berasal dari alira ra’yu ataupun aliran hadist.
B.     Saran
Ada baiknya dalam penulisan makalah ini anda dapan memberikan kritikan dan masukan untuk memperbaikinya mungkin ada kesalahan dalam penulisan dan referensi yg tidak jelas anda dapat menambahkan atau mungkin memberikan komentar atau  berupa pertanyaan.






DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, Dedi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Ensiklopidi Islam (ed: Hafidz Dasuki; PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994) – ‘Mazhab’.
Huzaemah Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab (Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997),






[1] Ensiklopidi Islam (ed: Hafidz Dasuki; PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994) – ‘Mazhab’.

[2] Huzaemah Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab (Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997), ms. 71-72

Artikel Terkait

Previous
Next Post »